Memperoleh gelar sarjana, magister, atau doktor merupakan impian setiap orang yang menimba ilmu di jenjang pendidikan tinggi. Namun tidak mudah untuk mendapatkan gelar tersebut. Hal ini dikarenaka proses untuk mendapat gelar itu harus melewati masa-masa perjuangan panjang yang menguras tenaga, biaya, dan waktu. Hal itu pula yang turut dirasakan oleh 12 mahasiswa pascarjana yang telah diyudisium pada Rabu, 27 November 2019 bertempat di gedung dosen STAIN Sorong. Tampak kegembiraan terpancar dari wajah-wajah peserta yudisium setelah Ketua STAIN Sorong menyematkan gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) kepada mereka yang disambut dengan tepuk tangan meriah dari tamu undangan yang hadir pada saat itu. Kegembiraan makin terpancar setelah Direktur Pascasarjana STAIN Sorong menyebut nama-nama peserta yudisium lengkap dengan gelar yang baru saja diperoleh.
Sejak resmi dibentuk tiga tahun lalu, Pascasarjana STAIN Sorong telah meluluskan 25 magister. Hal ini, menurut Direktur Pascasarjana, Dr. Surahman Amin, Lc. M.A., merupakan pencapaian yang patut dibanggakan.
Dalam sambutannya, Direktur Pascarjana menyampaikan bahwa Pascarjana sangat serius dan berkomitmen kuat untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang kompeten di bidangnya. Beliau menambahkan bahwa lulusan pascasarjana sudah siap diuji dan bisa dipertanggung jawabkan keilmuannya di hadapan publik. Direktur pascasarjana berharap kepada para magister yang telah menjadi alumni untuk terus menjalin silaturahmi dengan lembaga pascasarjana meskipun mereka telah disibukkan dengan aktivitas di luar kampus.
“Pascasarjana sudah punya alumni yang layak diperhitungkan di luar (masyarakat). Kita ingin menunjukkan bahwa setiap pencapaian itu pasti melalui proses panjang dan menantang” tegasnya.
Direktur Pascsarjana sangat bangga dengan alumni yang berjuang dengan gigih, pantang menyerah dalam menggapai gelar magister pendidikan. Bahkan ada mahasiswa yang terpaksa harus ujian tesis di depan bandara DEO karena kesibukan penguji yang cukup padat.
Rasa bangga juga disampaikan oleh Ketua STAIN Sorong, Dr. Hamzah, M.Ag. Dalam sambutannya beliau menyampaikan bahwa gelar magister itu anugerah. Tidak semua orang yang kuliah di pascasarjana bisa memperoleh gelar magister. Hanya orang yang bersungguh-sungguh dan tekun yang bisa meraihnya. Oleh karena itu, beliau mengajak kepada para peserta yudisium untuk senantiasa bersyukur kepada Allah atas augerah pencapaian tersebut.
“Kita harus lebih banyak bersyukur daripada mengeluh dan meminta. Kurangilah meminta dan perbanyaklah memberi.” Imbuhnya.
Beliau berpesan kepada peserta yudisium agar lebih banyak menyalurkan kemampuan yang dimiliki dalam rangka membantu orang lain. Hal ini erat kaitannya dengan perilaku keagamaan yang harus ditunjukkan oleh lulusan pascasarjana yang menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKIN).
Lulusan pascasarjana harus siap memasuki dunia kemanusiaan, memperjuangkan nilai-nilai kemanuasiaan, dan juga siap memasuki kelas menengah ke atas. Sebab tantangan yang dihadapi saat ini, menurut beliau adalah mengenalkan agama Islam agar dapat diterima oleh generasi digital yang kadang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Beliau juga mengingatkan kepada peserta yudisium untuk terus mengikuti perubahan dan perkembangan dunia saat ini, terutama perubahan yang terjadi di dunia pendidikan. Salah satu perubahan yang terjadi adalah perubahan sumber belajar yang pada era sebelumnya hanya terbatas pada buku, guru atau dosen. Di era digital sekarang ini, sumber belajar sangat banyak, salah satunya adalah google.
“Kalau dulu guru dihormati karena menjadi sumber belajar. Pada era digital sumber pembelajarn adalah google. Jangan-jangan peserta didik sekarang ini lebih hormat kepada google daripada guru. Itu yang menjadi tantangan kita.” imbuhnya.
Menurutnya peran orang tua dan guru jauh lebih strategis, penting, dan sangat mendasar dibandingkan dengan google. Ada hal-hal tertentu yang hanya bisa diberikan oleh guru dan orang tua dan tidak bisa diberikan oleh kecanggihan teknologi saat ini, yaitu piranti atau sisi kemanusiaan. Generasi digital saat ini, menurut beliau masih butuh sentuhan perasaan, punya peluang untuk kecewa, gembira, bersabar, dan sebagainya. Semua sisi kemanusiaan itu hanya ada pada manusia dan hanya bisa diberikan oleh manusia, bukan yang lain.
Beliau juga berpesan kepada lulusan pascasarjana agar menjadi pemain, bukan penonton. Ibarat permainan sepak bola, terkadang penonton hanya pandai berkomentar tetapi tidak pandai bermain. Di sisi lain, pemainlah yang paling tahu dan paham dengan apa yang terjadi di lapangan. (AHA)