Virus corona menjadi musuh yang menyeramkan bagi masyarakat dan negara. Dampak yang ditimbulkan oleh wabah ini begitu dahsyat. Sektor pendidikan, ekonomi, sampai kepada sosial budaya masyarakat dibuat pincang bahkan “lumpuh”. Tetapi, pemerintah dalam hal ini sebagai penopang kebijakan, dengan cepat merespon sumua keadaan yang muncul. Tidak tanggung-tanggung pemerintah pusat di bawah komando gugus tugas yang di-sah-kan oleh presiden Jokowi, langsung bergerak melakukan langkah-langkah strategis. Presiden juga melalui menteri keuangan melakukan refocussing anggaran semua kementerian sebagai langkah serius pemerintah dalam menanggulangi penyebaran virus yang pertama kali muncul di negara Tiongkok berapa bulan silam. Hal ini seperti yang diketahui bersama sudah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk merespon setiap perubahan yang melanda negara. Perubahan kondisi yang dialami oleh bangsa, tentu akan berefek pula terhadap perilaku masyarakat.

Berbagai macam perilaku masyarakat yang ditimbulkan oleh adanya perubahan kondisi suatu bangsa atau negara, menjadi bagian dari dampak responsive masyarakat terhadap situasi dan kondisi yang ditimbulkan. Sebut saja, terdapat suatu fase kejadian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, yakni “penyederhanaan budaya” secara besar-besaran dan cepat (revolusi), tetapi adanya juga penyederhanaannya secara lambat (evolusi).

Bangsa Indonesia dikenal dengan keanekaragaman budaya yang besar dan unik. Dari Sabang sampai Merauke ribuan adat dan tradisi mampu diciptakan oleh masyarakat. Adat dan tradisi tersebut sudah mendarah daging dengan masyarakatnya (pelaku budaya). Bahkan, sudah banyak daerah yang mensejajarkan budaya dengan agama, sehingga ketika dibenturkan ke dua hal tersebut, tidak jarang yang menimbulkan perselisihan berkepanjangan. Sebut saja, seperti halnya tradisi merariq, suku Sasak, Lombok.

Tradisi Merariq Suku Sasak, Lombok

Merariq merupakan tradisi yang berkembang di tanah Sasak, semenjak nenek moyang terdahulu. Merariq adalah istilah bagi pasangan pemuda dan pemudi yang sudah sah dalam ikatan pernikahan secara agama dan negara. Namun, dalam proses merarik tersebut terdapat fase di mana sang calon pengantin laki-laki harus mengambil secara diam-diam calon pengantin perempuan (maling). Setelah itu, ada fase inkubasi selama kurang lebih 2-3 hari, baru kemudian pihak laki-laki mengutus perwakilan (kepala wilayah/kyai) untuk menyampaikan pemberitahuan kepada pihak keluarga calon perempuan, bahwa sanak saudaranya sudah diambil oleh warganya (mesejati). Setelah itu, dilanjutkan dengan selabar berselang 1-2 hari setelah mesejati. Dalam proses selabar ini akan dilakukan negosiasi tentang uang pisuke (panai bahasa Bugis). Selama proses negosiasi tersebut ada juga kasus yang sampai memakan waktu 1-2 minggu, baru kemudian pihak calon laki-laki mendapatkan persetujuan untuk melangsungkan ijab kabul dari pihak wali.

Apabila dilihat dari segi agama, tradisi tersebut cenderung bertentangan, kenapa? Karena agama menganjurkan untuk tidak boleh mempersulit proses pernikahan seseorang, apalagi hanya gara-gara uang pisuke yang tidak mampu dipenuhi oleh pihak laki-laki. Namun, di sini penulis tidak akan membahas proses/fase pernikahan adat Sasak tersebut dari segi agama dengan detil, karena ini bukan ranah penulis untuk membahasnya.

Pasca proses ijab kabul ke dua mempelai, terdapat prosesi begawe dan nyongkolan. Begawai (pesta) dan nyongkolan (pergi silaturahim ke rumah orang tua pengantin perempuan secara ramai-ramai) dalam masa wabah virus corona ini secara otomatis tidak bisa dilakukan. Artinya, dulu sebelum corona menyapa bumi nusantara, masyarakat Sasak sangat bahagia apabila ada warga tentangganya menikah, karena bisa dipastikan selama pra, proses, sampai pasca ijab kabul, akan tercipta kondisi meriah dan lingkungan selalu dibuat ramai.  Oleh karena itu, dalam kasus seperti ini terdapat penyederhanaan atau pergeseran budaya meskipun hal ini tidak dikendaki oleh masyarakat, tetapi keadaan lingkunganlah yang menghendaki. Julian Stewart salah satu ahli budaya mengatakan, “sebuah kebudayaan bisa diubah oleh lingkungan dan lingkungan bisa diubah oleh budaya”. Dalam konteks ini, keadaan lingkunganlah yang memaksa pergeseran budaya terjadi. Carut-marutnya kondisi lingkungan masyarakat yang disebabkan oleh wabah corona ini, mampu memberikan pelajaran kepada masyarakat budaya untuk selalu mengiringi fanatismenya dalam berbudaya dengan pemahaman relativitas kebudayaan, dan perlu juga untuk diketahui bahwa melakukan ibadah itu tidak mesti dengan ramai-ramai atau pesta, seperti dalam hal melakukan ibadah pernikahan.

Pandangan Kaca Mata Antropologi

Menurut kamus Oxford dikatakan, antropologi adalah studi tentang masyarakat dan budaya manusia dan perkembangannya. Dapat diartikan studi tentang karakteristik biologis dan fisiologis manusia dan evolusinya. Statmen yang dikatakan dalam kamus tersebut menjadi jawaban mendasar bahwa sebuah kebudayaan tidak berifat statis melainkan kebudayaan yang tercipta oleh kondisi suatu masyarakat tersebut bersifat dinamis. Sehingga, sebuah kebudayaan sesakral apapun, pasti akan melalui fase perubahan atau perkembangan, baik secara cepat ataupun lambat.

Revolusi maupun evolusi budaya yang terjadi akibat adanya wabah virus corona ini merupakan bagian dari relativitas kebudayaan yang kapan pun bisa berubah, baik itu dipengaruhi oleh faktor pendidikan pelakunya, faktor lingkungan, dan sebagainya. Relativitas kebudayaan ini menjadi penyebab terjadinya pergeseran kebudayaan di tengah-tengan pandemik virus corona. Untuk itu, penyederhanaan budaya yang berakibat terhadap pergeseran kebudayaan pada masa pandemik virus corona ini, menarik untuk dikaji, karena ada kalangan yang merasa diuntungkan dan ada juga yang merasa dirugikan.

Kaum Proletar diuntungkan, Kaum Borjuis Cenderung dirugikan

Dengan adanya penyederhanaan budaya, khususnya dalam tradisi pernikahan ini menjadikan kaum yang tidak berduit (golongan bawah) merasa diuntungkan. Sedangkan, bagi kalangan borjuis (golongan atas) sedikit merasa dirugikan.

Kalangan proletar akan diuntungkan karena tidak harus memaksakan diri untuk menyelengarakan prosesi pesta (begawe: bahasa Sasak) yang bisa saja memaksa pelaku atau pelaksana acara untuk berhutang ke sana ke mari demi terselenggaranya pesta adat tersebut, karena kalau tidak bisa saja menajadi aib di mata masyarakat. Tetapi, dengan adanya kondisi yang diakibatkan oleh wabah virus ini, masyarakat dari kalangan proletariat sedikit merasa diuntungkan dan bisa menjadi momen untuk mengatakan bahwa “budaya bukan alat untuk merendahkan martabat suatu kaum, melainkan budaya merupakan suatu wadah memuliakan dan meluhurkan suatu kaum”. Dengan demikian, masyarakat proletariat ketika berhadapan dengan kondisi ini, mereka punya satu dasar, disaat mereka tidak memiliki apa-apa untuk merayakan atau mensyukuri jodoh yang dianugrahi Tuhan, melainkan hanya dengan ucapan syukur dan hanya bisa mengundang tetangga dekat untuk membaca zikir dan doa. Dasar atau alasan yang diamksud yakni taat terhadap protokol kesehatan yang diterapkan oleh pemerintah.

Sedangkan, di sisi yang lain, bagi kaum borjuis, hal ini merupakan sebuah halangan karena tidak bisa melakukan pesta besar-besaran sebagai wujud syukur dan kalau secara ektrem dikatakan sebagai ajang penonjolan kekayaan yang dimiliki, meskipun secara tidak langsung tidak diperlihatkan atau tidak diucapkan. Namun, secara simbolik mereka dengan tidak sadar telah menunjukkan hegemoni derajat dan penunjukkan identitas. Disadari atau tidak, inilah yang terjadi.

Relativitas Pengetahuan Masyarakat dalam Memandang Pandemik Covid-19

Pengetahuan masyarakat dengan cara memandang wabah virus corona ini relatif. Dikatakan relatif, karena antara si A den si B dalam cara memandang objek yang sama, pasti berbeda. Dan hal ini tidak bisa dipaksakan. Sehingga, wajar kemudian banyak terjadi pelanggaran protokol kesehatan di masyarakat. Ada yang memandang wabah virus ini sebagai sesuatu hal yang enteng, tetapi ada juga masyarakat yang benar-benar memahami dampak yang ditumbulkan oleh virus ini. Akibatnya, mereka yang sadar dan paham, pasti akan mematuhi protokol kesehatan yang diterapkan oleh pemerintah.

Selanjutnya, cara pandang masyarakat ini menjadi sebuah unifikasi dari relativitas kebudayaan, karene unsur kebudayaan menurut koentjoroningrat ada 7, salah satunya ialah pendidikan.

Penyederhanaan budaya ini juga menjadi bukti adanya relativitas pandangan para pelaku budaya. Hanya saja, belum dielaborasi menjadi perubahan budaya secara saklek, yang dihasilkan melalui kesepakatan para pelaku budaya. Meskipun hanya bersifat sementara, penyederhanaaan budaya selama masa pandemik ini, besar kemungkinan akan menjadi dasar pemikiran kaum intelektual untuk melakukan perubahan budaya. Karena faktornya bukan sekedar pendidikan, keadaan lingkungan semata melainkan adanya perubahan zaman yang menuntuk pelaku budaya untuk beradaptasi mengikuti perubahan zaman. Tidak menutup kemungkinan, alternatif-alternatif yang dilakukan oleh masyarakat di bidang pendidikan, agama, budaya, dan ekonomi pada masa pandemik ini menjadi gambaran bahwa dunia sudah menuntut untuk melakukan perubahan. Zaman tatap muka secara langsung bisa dilakukan dengan cara tatap muka melalui online. Menikah yang sejak beberapa tahun diterapkan oleh pemerintah, bahwa menikah tidak harus mahal dan mewah, cukup menikah di kantor KUA tanpa harus mengundang banyak orang, apalagi melakukan prosesi pesta dan nyongkolan.

Penyederhanaan-penyederhanaa budaya di atas yang nantinya akan menjadi cikal- bakal perubahan budaya, tidak bisa dielakkan oleh pelaku budaya. Dengan demikian, diharapak kepada pelaku budaya yang menganggap diri fanatik dalam memanifestasikan kebudayaan, untuk tidak terlalu bersikap berlebihan dalam merespon perubahan demi perubahan dalam wilayah/unsur kebudayaan, karena pada prinsipnya yang hakiki itu perubahan, bukan budaya apalagi pengetahuan.

Identitas Penulis:
Nama           : Lalu Nasrulloh
Pekerjaan     : Dosen Bahasa Indonesia
Instansi         : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sorong, Papu Barat