Humas IAIN Sorong- Bertajuk WHO24 (wajib halal Oktober 2024) Kementarian Agama RI tengah mengkampanyekan produk halal . Dalam Rapat Koordinasi Daerah LP3H (Lembaga Pendamping Proses Produk Halal) dan LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) Terkait Kampanye Halal Oktober 2024 (WHO24) di Hotel Aston, Selasa (5/3), salah satu narasumber yang dihadirkan adalah Rektor Intistitut Agama Islam Negeri (IAIN) Sorong, Prof Dr Hamzah Khaeriyah, M.Ag.
Memaparkan materinya, “transformasi halal sebagai jaminan konsumen menuju Indonesia wajib halal”, Prof Hamzah mengatakan, halal adalah istilah syariat Islam, tapi kini telah terjadi transformasi ke persoalan kemanusiaan.
Dengan bertitik tolak bahwa dasar kemanusiaan tidak lagi melihat persoalan-persoalan yang sifatnya batas-batas keagamaan, tapi sudah berbicara secara menyeluruh, yakni tentang kebersamaan, bicara tentang tolong menolong, bicara tentang hidup dalam keadaan tenang dan damai.
“Kalau bicara syari, itu ada hal-hal yang sifatnya mesti diskusi lebih jauh, tapi kalu kita bawa di wilayah kemanusiaan, maka semua orang itu akan masuk ke sana,”ujar Prof Hamzah.
Dari buku yang ditulis tentang filsafat ekonomi Islam tahun 2021, menandaskan bahwa kehalalan itu sudah menjadi bagian dari sisi kemanusiaan.
Lanjut dikatakan oleh Prof Hamzah, ada 2 era berkaitan dengan kehalalan ini. Yang perama, kita sekarang ini berada pada era membangun standar konsumen. Bagaimana konsumen itu dilayani dengan baik.
Bahwa pelayanan konsumen terbagi pada 4 hal yakni memberikan kepastian mutu, kepastian ibadah, dan kepastian dampak.
Bahwa dalam membangun standar konsumen sebuah barang itu dibeli oleh konsumen maka syaratnya adalah halal. Karena melihat kepentingan konsumen, maka jika produk yang dihasilkan mau laris, maka perusahaan itu harus memperhatikan dari sisi aspek kehalalan.
“Jadi penekanan kita sekarang ini pada konsumen.
Saya kira ini menjadi penting. Jadi ceramah di gereja, ceramah-ceramah di masjid, majelis taklim, konsumen ini harus dididik bahwa melakukan transaksi dengan melihat label halal itu menjadi penting,”ujar Prof Hamzah.
Jika saat membeli produk konsumen sudah berani menolak untuk membeli produk karena tidak ada label halalnya, maka nantinya perusahaan sebagai produsen tentunya akan menaati aturan wajib halal karena melihat pada kepentingan konsumen.
“Buktinya sudah berapa tahun undang-undang jaminan halal itu diproduksi tapi sejumlah perusahaan yang melakukan diluar undang-undang masih banyak. Tadi kita dengar ada 3900 sertifikat halal yang terbit dari sekian banyak jumlah perusahaan di tanah air. Jadi belum maksimal. Kalau tidak salah , target kita Oktober menerbitkan 10 juta sertifikat halal, padahal itu seperberapa dari jumlah perusahaan yang ada di Indonesia,”tandas Prof Hamzah.
Melihat kebutuhan konsumen, ditegaskan oleh Prof Hamzah, “semakin tinggi daya kritis konsumen, maka kemudian sertifikasi halal ini akan semakin sukses”.
“Jadi peranan mubalig, peranan dai, peranan sekolah itu jadi penting. Oh saya tidak mau beli, tidak ada halalnya. Nah ini yang harud didoktrinkan kepada konsumen,”imbuh Prof Hamzah.
Lanjut dikatakan, melihat dari aspek pelayanan konsumen, kalau suatu produk ada label halalnya maka terjadi kepastian hukum dan tentu ada kepuasan pada konsumen.
“Saya puas, kenapa puas, karema apa yang sayang inginkan bisa terpenuhi. Jadi doktrin itu kepada konsimen menjadi penting, ada kepastian hukum,”tandas Prof Hamzah.
Lebih lanjut diuraikan , dalam pelayanan konsumen, kehalalan juga memberikan kepastian ibadah. Kepastian ibadah itu adalah kepatuhan. Ini berlaku bagi umat Islam. Kepatuhan itu akan membangun sebuah komitmen yang disebut konsisten . Yang dalam bahasa agama disebut dengan Istiqomah.
Dan yang ketiga adalah kepastian dampak. “Ada pengaruh pangan, makanan yang kita makan itu terhadap karakter kita. Di dalam Al Qur’an diseburtkan seluruh rasul diminta makan dari makanan yang halal. Ada hubungan antara makanan yang dimakan dengan karakter.
“Jadi kalau ini menjadi karakter, “saya nda mau beli kalau tidak halal. Ini luar biasa. Tentu saja proses ini menjadi penting , jadi karakter. Kalau anak-anak SD nanti, ”oh nda ada halalnya, nda mau beli , ini namanya karakter. Kalau ini masuk di pendidikan, seluruh guru diberikan wawasan tentang itu, saya kira tepat. Akan menjadi sebuah karaktek. Nda ada halalnya nda mau beli. Itulah fokus kita tentang konsumen,”urai Prof Hamzah.
. Bahwa sirkulasi pengaruh halal pada pelanggan mengikuti arah jarum jam, mulai dari pembeli, naik jadi pelanggan kemudian bertransformasi menjadi mitra.
“Kalau mitra , dia sudah masuk pada wilayah ukuwah. Naik lagi kelas menjadi promotor, dia mempromosikan . Pembeli itu sudah naik kelas, oh kalau ada halalnya jadi seperti ini, seperti ini dia menjadi tim marketing.
Jadi bpk ibu sekalian, ada sekian fase yang kita harus lalui untuk kemudian halal ini menjadi sebuah budaya. Pembeli naik kelas jadi pelanggan , naik kelas jadi mitra, naik kelas jadi promotor, ini yang kita kenal sebagai sirkulasi pengaruh,”jelas Prof Hamzah.
Bagaimana wajib halal menuju standar konsumen dunia juga diuraikan oleh Prof Hamzah , yang dimulai dari wajib halal, kemudian sebagai jaminan bagi konsumen. “Kalau konsumen ini sudah terbangun karakternya makan akan naik lagi jadi standart konsumen. Kita ingin mencipatkan wajib halal ini jadi bagian dari strandar konsumen.” Saya nda mau beli kalau nda ada halalnya”, itu namanya standar konsumen. Itu tahap yang ketiga,”jelasnya.
Sekarang kita memasuki era kdua, dan era kedua ini
boleh jadi 10 tahun kedepan, boleh jadi 15 tahun kedepan , nah kita akan masuk pada standart perilaku ekonomi.
Standar perilaku konsumen, dasarnya adalah memperjuangkan kehalalan. Kalau produsen berpikir, kira-kira apa lagi bisa saya produksi, saya ciptakan sebagai inovasi dan itu kemudian diterima oleh konsumen, maka itu namanya perilaku konsumen.
Selain perikaku konsumen, kehalalan sebagai standar perilaku ekonomi juga terkait dengan perilaku produsen.
Bahwa ada kesadaran dari produsen, tidak mau lagi memproduksi sesuatu yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kehalalan . “ Tingkat kesadarannya luar biasa. Kalau itu terjadi maka kita akan melahirkan sebuah masyarakat yang memiliki standar perilaku ekonomi dari sisi kehalalanm”ujar Prof Hamzah
Menyebutkan salah satu pandangan ulama “jangan cari enaknya makanan, tapi cari karena sehatnta, gagasan tentang kesehatan ini menjadi penting, bisakah kalau kita makan yang halal kita sehat.
Dalam rangka sukses sertifikat halal, menurut Prof Hamzah, tentu harus melibatkan kita banyak pihak. “Supaya kemudian bahwa dengan makan yang halal tu kita sehat, kita juga sudah harus mengurangi istilah enak dan tidak enak, yang penting sehat,”pungkas Prof Hamzah. (rosmini)